Berawal dari sebuah preparat yang seakan menempel pada pikiranku hingga saat ini, sulit untuk dilupakan namun seperti ingin ku hilangkan. Itulah awal ku mengenal seseorang lebih dekat karena setangkai kamboja yang menjadi preparat biologiku. Sebut saja dia Eri, dialah yang membawanya, bunga yang berwarna indah menjadi malaikat dalam taman laboratorium itu. Kebetulan dia anggota dalam tugasku, tepatnya tugas kelompok biologiku.
Waktu telah dimulai, semua anak dalam ruangan itu terkunci rapat untuk angkat bicara dan mulai fokus dengan apa yang diembannya. Dikata romantis itu perlu, namun ini bukan sebuah fiksi untuk ajang pacaran. Aku dan dia memang satu tugas, tapi juga bersama anak lain mengerjakannya. Dalam tengah waktu berjalan, anak lain mulai angkat bicara dengan kawan lainnya. Aku pun mencoba, karena setangkai kamboja itulah yang membuatku kagum akan romantis warnanya, “Er, bunganya bagus lho, warnanya indah.”, lalu dia membalasnya, “Biasa saja menurutku, apalah arti bagus, itu hanya ku ambil dari belakang gubukku.”. Aku seakan tercengang mendengar apa yang dia ucap belum lama, apalah arti bagus menurutnya, itu hanya sebuah bunga yang layu karena dinginnya ruangan itu.
Jarum jam berputar sangat cepat dan tak terasa waktu untuk menikmati ruangan itu telah habis, semua anak pun berberondong keluar ruangan, namun sebagian membersihkan sisa bahan yang telah mereka gunakan. Mulai ku ambil bungkusan bunga yang dia bawa tadi, tiba-tiba dia bertanya, “Untuk apa bunga itu, Han?”, aku pun menjawab, “Mau aku bawa pulang.”, dia seakan membalas dengan perasaan kaget, “Bunga itu udah layu, sisa preparat juga.”. Aku tersentak mendengar apa yang dia ucap baru saja. Namun aku berusaha tak peduli, mulai ku tinggalkan dia keluar ruangan dan tetap ku bawa bunga itu menuju kelas.
Kebiasaan seorang murid, ketika guru mata pelajaran belum masuk, kelas pun menjadi riuh oleh ocehan banyak anak. Begitu pula dengan keadaan kelas tempatku berada saat ini, suasana kelas bagaikan pasar paling ramai di Indonesia.
Saat suara itu mulai terdengar, berarti waktu sekolah telah terpenuhi, jam pulang pun akan segera terlaksana. Tak ku sangka dia menghentikanku ditengah perjalanan keluar ruangan yang tadi ku tempati, ya, seseorang yang tadi bertanya di laboratorium itu, “Han, kamu mau bunganya? Besok aku bawakan.”, rayunya. Namun ku hanya menjawab lirih padanya, “Jika menurutmu itu biasa, aku berterimakasih sebelumnya kamu akan membawakanku, namun aku lebih menghargaimu apabila kamu izinkan aku untuk merawat bunga ini hingga benar-benar layu.”, dia pun seakan kecewa dengan apa yang ku ucap, “Ya sudah, tak masalah kamu menolaknya, semoga bunga itu awet di halamanmu.”.
Setibanya di rumah, tak lama ku dengar handphone ku bergetar, tanda sebuah pesan masuk. Dia lah yang mengirimnya, “Han, kamu mau bunga itu? Tersisa banyak di belakang gubukku. Besok aku bawakan.”, itulah isinya. Lalu ku balas, “Tak perlu, ini sudah lebih dari cukup. Terimakasih.”. Yang nyata dalam hatiku, sebenarnya aku ingin memiliki lebih dari itu, namun imajinasiku bertolak belakang, “Biarlah bunga-bunga itu tumbuh di ranjang tanah rumahmu Er, simpan untuk lain waktu sebagai kenangan kamu pernah memberi bunga itu padaku dulu.”
Keesokan harinya, suasana berjalan biasa, tanpa tanda kurung karena kisah kemarinku. Selanjutnya dan selanjutnya, semua integrasi seperti air yang tenang mengalir tanpa jeram. Tiba saatnya, kemah pun akan diselenggarakan, kisah itu seakan kembali seperti dulu. Namun tak persis, hanya sebuah gambaran yang hampir sama menurut imajinasiku. Reguku sibuk untuk menyiapkan semua persiapan perjalanan, kekurangan suatu alat adalah hal biasa, ya, itu yang kebetulan singgah di regu elitku. Hari demi hari pun berganti, tak terasa tanggal itu pun hampir tiba, reguku masih kekurangan suatu alat yaitu patok. Ku berusaha meminjamnya hingga datang ke sekolah-sekolah sederajat yang lain. Kebetulan ku bertemu dengan adik Eri, berangsur kata ku ucap demi reguku mendapat alat itu dan dia pun berkata, “Ya, besok aku titipkan kakak.”. Mendengar jawaban itu, hatiku pun terasa lega. Setelah mengetahui keputusannya, ku beranjak meninggalkan tempat yang tadi menjadi saksi bisu dalam pertemuan singkatku.
Dengan bangga aku menghibur diriku, sebab semua kebutuhan kemah reguku sudah terpenuhi. Malam itu adalah malam dimana semua barang regu yang akan dibawa ditempatkan di sekolah, hingga malam aku masih menunggu di sekolah. Saat itu, Eri pun ikut menemaniku hingga larut pun datang. Dia menawariku sebungkus roti bakar yang dia beli belum lama, “Han, kamu mau? Mumpung hangat, barusan aku membelinya.”. Lalu ku menjawab, “Bolehlah, aku juga lapar. Makasih ya, Er, sebelumnya.”, dan dia pun hanya memberi isyarat senyuman tulus padaku.
Keesokan harinya, waktu yang ditunggu-tunggu telah tiba, semua anak berangkat ke sekolah pagi-pagi. Sesudah semua barang bawaan siap dan dimasukkan ke truk pengangkut. Giliran siswa-siswi bersiap duduk di bus masing-masing kelas. Sialnya, tempat duduk di bus ku kurang dan aku salah satu siswi yang terakhir masuk bus. Sehingga aku harus rela duduk menggunakan kursi tambahan yang sudah disiapkan oleh pembina. Kebetulan disampingku adalah Eri, dia rela mengganti posisi duduknya denganku. “Kamu baik, Er. Makasih banyak ya”. Lalu dia pun menjawab, “Tidak apa-apa, demi kamu aku rela”. Mendengar celetukan yang seakan mengajak bercanda kepadaku seperti hendak tersenyum balik kepadanya, namun niat itu ku urungkan saja.
Di sepanjang perjalanan menuju bumi perkemahan, kami banyak bercerita tentang agenda perkemahan yang hendak kami lakukan, ya, dan pastinya itu sangat melelahkan. Namun nantinya kami akan mendapat pelajaran yang sangat berharga dari perkemahan ini. Setelah menghabiskan berpuluh-puluh menit untuk menempuh naik turun dan belokan-belokan di jalanan, akhirnya bumi perkemahan sudah ada di depan mata. Kami pun bergegas turun dari bus dan mengangkuti barang-barang bawaan kami ke kapling masing-masing.
Stay tune… wkwk
(Fitri N.I.F)